Semua Karena Gengsi

Jika kamu menyangka mengungkapkan perasaan akan membuat harga dirimu jatuh, hey, sepertinya kamu keliru. Apa yang akan terjadi pada hatimu, bila jujur pada diri sendiri saja kamu tak mampu?

Menurutku, jujur pada diri sendiri adalah ketika kita mampu mengungkapkan perasaan. Apapun perasaan itu, sedih maupun bahagia. Tanpa dipengaruhi oleh pandangan dan sikap orang lain terhadap diri ini. Sebab kita tahu, yang paling penting adalah ketenangan hati. Bukan ‘apa kata orang lain’ tentang kita. Bukan ‘sikap orang lain’ terhadap kita.

Baru saja aku membuka aplikasi KBBI di gawaiku. Aku menulis kata ‘gengsi’ di sana. Kamu tahu apa definisinya? Di sana tertulis bahwa gengsi adalah terlalu membanggakan ketinggiannya, kehormatan, harga diri, dan martabat. Setelah membaca definisi itu aku pun mengernyitkan dahi. Aku bingung. Bagaimana bisa seseorang menggadaikan kedamaian hatinya hanya untuk menjujunjung tinggi semua itu? Hatinya pasti sesak tiap kali menahan perasaannya.

Banyak sekali pepatah yang mengatakan bahwa jangan pernah bermimpi ‘mengerti’ orang lain sebelum kita mengerti diri sendiri. Dan jangan pernah bermimpi ‘mencintai’ orang lain sebelum kita mencintai diri sendiri. Lalu, apa hubungannya dengan si gengsi ini? Ada hubungannya. Bila kita terus menerus menahan diri untuk tidak jujur terhadap perasaan sendiri, bagaimana mungkin kita mampu mengerti dan memahami kejujuran perasaan orang lain?

Jujur pada diri sendiri memang seringkali menjadi ‘sasaran empuk’ orang-orang yang tidak berperasaan. Mereka menggunakan kejujuran kita untuk keuntungannya sendiri. Jujur pada perasaan sendiri juga seringkali menghadirkan banyak rasa kecewa. Rasa kecewa yang disebabkan oleh ‘reaksi’ yang diberikan orang lain terhadap aksi jujur kita. Reaksi yang menyakitkan hati. Meskipun begitu, ketenangan hati tetaplah utama. Yang menentukan bahagia atau tidak diri kita bukanlah akhir yang baik-baik saja. Melainkan, hati yang berbahagia. Hati kita berhak berbahagia, kan? Kita tidak akan bisa hidup dengan hati yang sesak selamanya.

Dalam hidup, hukum aksi-reaksi pastilah ada. Aksi yang baik tak melulu memberikan reaksi yang baik. Aksi yang buruk juga tidak melulu memberikan reaksi yang buruk. Hasil akhirnya pun tak ada yang tahu. Entah membuat hati luka atau berbunga. Semua kejadian memang hak prerogatif Allah. Maka, dalam bersikap pun kita seharusnya paham tentang itu.

Jujur pada perasaan memang tidak selalu memberikan hasil yang baik. Namun, satu hal yang pasti, jujur pada perasaan akan menyelamatkan diri sendiri. Menyelamatkan diri dari ketidaktenangan hati.

Aku Mengamati Dia

Sedari tadi aku melihat dirinya gelisah. Aku yang biasanya mampu mengamati orang lain dengan baik pun tak dapat menebaknya. Entah apa yang ia khawatirkan dihari yang bahagia ini. Raut wajahnya menunjukkan tak baik-baik saja. Namun, perkataannya menunjukkan hal sebaliknya. Ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

Meskipun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku tahu ia sedang tak jujur. Tak jujur pada dirinya sendiri dan pada orang-orang di sekitarnya. Seolah-olah ia memasang dinding pembatas setinggi-tingginya agar siapapun tak dapat melihat ada apa di dalam sana. Seolah-olah juga, ia berkata baik-baik saja, meskipun kami melihat ada banyak luka disana. Ia tak mau mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Ia benar-benar membatasi diri.

Aku melihat rasa sepi dibola matanya. Aku merasa hatinya tak hadir meskipun dirinya ada disini. Mungkinkah itu yang dinamakan merasa sepi dalam keramaian? Ia merasa kesepian meskipun kami disini bersuka cita bersama. 

Aku melihat ia ingin berteriak dan berlari untuk menghentikan segalanya. Namun, tuntutan di luar sana menghentikan suara dan langkah kakinya. Ia berteriak dalam diam. Ia berlari dalam diam. Tahukah kamu pemandangan apa ya aku lihat disana? Ia tak tenang dengan dirinya sendiri. Ia bergerak kesana kemari tanpa tahu arah mana yang dituju. Ia bercerita ini dan itu tanpa tahu topik apa yang sesungguhnya ingin ia sampaikan. Ia bingung dengan dirinya sendiri.

Ia mengeluh kesekian kalinya atas apa yang ia telah putuskan. Ia mengerutkan dahi kesekian kalinya atas apa yang ia telah pilih. Ia kecewa kesekian kalinya atas apa yang ia telah miliki. Dari apa yang ia tunjukkan dalam sikap, aku tahu ia belum mencintai dirinya sendiri.

Benar adanya bahwa jujur pada diri sendiri adalah penting. Sebab, dengan begitu kita akan bisa segera memulihkan dan menyemangati diri sendiri. Dan kemudian berlari lagi. Dengan begitu kita bisa melakukan apapun yang disuka. Tanpa harus memikirkan apa kata orang lain. Tanpa harus mengkhawatirkan pandangan orang lain. Karena kita menyadari betul, jujur pada diri sendiri adalah utama. Membuat nyaman diri sendiri adalah utama. Karena hanya kita yang benar-benar memahami hal apa yang membuat hati ini bahagia.

Benar adanya bahwa jujur pada orang lain adalah penting. Sebab, dengan begitu orang lain akan mempertimbangkan perasaan kita. Orang lain akan menyesuaikan diri kita. Orang lain akan menerima segala kekurangan kita. Orang lain akan meminta maaf dan juga memaafkan. Dan orang lain akan bekerja sama atas potensi-potensi yang kita punya.

Benar adanya bahwa mencintai diri sendiri adalah penting. Sebab, dengan begitu kita akan fokus menerima segala kekurangan dan mengoptimalkan segala potensi diri. Kita juga akan fokus dengan cita-cita dan menggapainya. Mencintai diri sendiri juga membuktikan bahwa kita mencintai-Nya. Kita menerima, bersyukur, mencintai ciptaan-Nya.

Mengamatinya membuat aku tersadar bahwa kita benar-benar bertanggung jawab atas diri sendiri. Ingin menjadi seperti apa dan bagaimana cara menjalani hidup adalah kita yang menentukan. Ingin setenang apa hati dan pikiran juga tergantung bagaimana kita mengaturnya. Allah meminjamkan diri ini untuk sementara. Masihkah kita alpa untuk mengatur hati dan tubuh ini dengan sebaik-baiknya?

Sudahkah Kita Jujur pada Diri Sendiri?

Katanya, alasan untuk tidak mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya adalah karena takut orang lain akan meninggalkan. Oleh karena itu, baginya sungguh tak apa bila ia tak baik-baik saja. Asalkan orang tetap berada disisinya, ia yakin akan baik-baik saja. Ia akan berusaha menahan dengan sekuat tenaga. Bila bersedih, ia akan tetap tersenyum. Bila marah, ia akan tetap tertawa. Bila tersakiti, ia akan berusaha memendamnya sendiri. Namun, dalam hati ia pun bertanya-tanya, “Mengapa orang lain tak menghargai dirinya?”,”Mengapa orang lain bertindak sesuka hati?”

Ia menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja, kemudian ia bertanya pada dirinya sendiri mengapa orang lain berlaku tak baik padanya. Ia juga menanyakan hal yang sama kepadaku. Kemudian aku memikirkannya. Berusaha mengingat kembali bagaimana ia bersikap. Saat itu, kutahu bahwa ada sesuatu yang tak benar pada dirinya. Saat itu juga kutahu, apa yang terlihat tak selalu sesuai dengan kenyataannya. Apa yang terlihat tak selalu menunjukkan yang sebenarnya. 

Kamu mengatakan ketidaksukaanmu padaku. Apakah kamu mengatakannya juga pada teman-temanmu itu?” aku bertanya penasaran.

“Hmm, aku selalu tersenyum dan tertawa bagaimanapun teman-teman memperlakukanku. Bahkan untuk hal-hal yang tidak kusukai dan mengangguku. Aku terlalu takut untuk mengatakannya.” ia menjawab cukup lama dan mengatakan dengan ragu-ragu.

“Apa yang membuatmu takut?” kepadanya, aku tak pernah berkata bertele-tele. Aku selalu mengatakan inti pertanyaan, yang menurutnya seringkali pertanyaanku terkesan menyudutkannya. Padahal, sungguh, tujuanku tak pernah seperti itu.

“Aku terlalu takut untuk mengungkapkan perasaanku. Aku terlalu khawatir atas dampak kejujuranku. Aku terlalu tak berani menghadapi kenyataan bila nanti mereka menjauhiku.” dan perlahan, ia mengungkapkan apa yang ia pikirkan dan rasakan.

“Mengapa kamu berpikir mereka akan menjauhimu?” aku mengajukan pertanyaan lagi. Aku masih tak mengerti apa yang sedang ia katakan.

“Aku tahu setiap orang selalu ingin keinginannya terwujud. Aku tahu setiap orang pasti tak suka bila pandangannya ditolak. Aku tahu setiap orang pasti tak suka bila dirinya tak didukung. Aku tahu setiap orang selalu senang bila tujuannya tercapai. Dan aku tahu, bila aku mengungkapkan pikiran dan perasaan yang tidak sesuai keinginan mereka, aku pasti dibuang. Aku pasti dijauhi. Aku pasti ditolak. Dan aku pasti tidak disenangi. Aku tak ingin diperlakukan seperti itu.” ia menjelaskan panjang lebar pandangannya yang membuat aku semakin tak mengerti. Dari mana asal pandangan-pandangannya itu? Mengapa ia berprasangka?

“Terima kasih telah mengungkapkan perasaanmu padaku. Terima kasih telah jujur padaku. Tapi, sadarkah sedari tadi kamu hanya memikirkan tentang orang lain? Bagaimana denganmu? Apakah kamu baik-baik saja?” kupikir, pertanyaan ini penting  diajukan. Kamu harus mencoba jujur terhadap dirimu sendiri.

Ia kembali diam. Ia menatap ke depan dengan tatapan kosong. Cukup lama ia berdiam diri. Kemudian ia terisak.

“Aku tak baik-baik saja. Hatiku sakit tiap kali mereka berbicara. Mulutku kelu tiap kali mereka mengejekku. Mataku perih menahan tangis tiap kali aku ingin menangis. Aku selalu ingin berteriak tiap kali menahan semua dengan sekuat tenaga. Aku sungguh tak baik-baik saja.” ia mengatakan dengan kalimat terbata-bata. Ia menangis tersedu-sedu. Ia tak baik-baik saja. Dan ia mulai jujur dengan perasaannya. Aku tahu. Aku merasakannya.

“Kamu berhak atas ketenangan hati. Kamu berhak mengungkapkan pikiran. Kamu berhak jujur atas perasaanmu sendiri. Bila kecewa, tak apa kamu mengatakan bahwa dirimu kecewa. Bila menganggu, tak apa kamu mengatakan bahwa dirimu terganggu. Bila tak suka, tak apa kamu mengatakan bahwa tak menyukainya. Bila bersedih, tak apa kamu mengatakan bahwa dirimu sedang bersedih. Bila terlalu sakit, tak apa kamu mengatakan bahwa dirimu tersakiti. Bila kamu dalam keadaan tak baik, tak apa kamu mengatakan bahwa tak baik-baik saja. Kamu berhak mengungkapkan segalanya. Memikirkan perasaan orang lain itu baik. Takut ditinggal dan tak disukai juga merupakan hal normal. Namun, bukankah selalu ada cara yang lebih baik daripada mengorbankan dirimu sendiri? Ketenangan dan kebahagiaan  dirimu adalah utama.” aku tak tahu adakah ‘pikiran tak benar’ lain yang mengendap dalam pikirannya. Mohon izinkanlah kali ini aku mengatakan kalimat panjang tersebut padamu. Semoga kalimat ini juga mengendap dalam hati dan pikiranmu.

Ia mendengarkan dengan baik dan kemudian menunduk. Ia merenungkannya.

Aku bersyukur karena kamu memilihku untuk mendengarkanmu. Aku juga bersyukur kita telah melakukan percakapan itu. Aku tahu kamu adalah pembelajar yang baik. Kamu selalu membuka lebar pendengaranmu untuk menerima hal baru. Kamu selalu membuka hati dan  pikiran seluas-luasnya untuk menyimpannya. Kamu selalu berusaha untuk berubah. Dan kamu tetap berusaha meskipun kutahu semua itu sulit untuk dilakukan. Terima kasih karena selalu mencoba memperbaiki dan berubah menjadi baik setiap waktu.

**

Jika masih saja ada kekhawatiran perlakuan buruk orang lain atas kejujuranmu, maka aku sarankan lupakan hal itu saat ini juga. Kehidupan memang seperti ini. Suka atau tidak, waktu akan tetap berjalan. Senang atau tidak, kejadian akan tetap datang.

Meskipun begitu, setiap orang berhak untuk jujur atas apa-apa yang dipikirkan. Setiap orang berhak untuk jujur atas perasaannya. Manusia manapun tak akan tahu apa yang dipikirkan dan dirasakan bila kita tidak mengungkapkannya. Oleh karena itu, jangan mengharapkan hal-hal yang tidak mungkin. Tidak mungkin? Sungguh tak mungkin orang lain akan tahu segalanya, bila kita enggan mengatakan apa yang ada dalam hati dan pikiran. Sungguh tak mungkin orang lain menghargai bila kita tak pernah jujur atas keinginan sendiri. Atas dasar apa orang lain menghargai bila kita tak memberi tahu apa-apa?

Jika memutuskan untuk jujur atas perasaan dan pikiran, maka kita harus siap menghadapi sikap orang lain yang akan terjadi. Kita harus realistis dengan kehidupan ini, bukan? Dengan banyaknya manusia di dunia ini dan segala perbedaannya, adalah hal wajar bila ada dua golongan di sekitar kita. Dua golongan yang akan merespon kejujuran perasaan dan pikiran kita. Golongan itu adalah golongan yang mendukung segala pikiran dan golongan yang tak mendukung segala pandanganmu. Jadi, jalani saja realita yang ada. Karena kita tak akan bisa merubah orang lain. Yang kita bisa lakukan adalah mengatur diri kita sendiri. Diri ini harus pandai menyikapi keadaan.

Bagaimana cara menyikapi dua golongan tadi? Jadikan golongan yang mendukung sebagai motivasi untuk kita melakukan kejujuran yang lebih banyak lagi. Lalu, jadikan golongan yang tak mendukung sebagai pelajaran untuk kita introspeksi lebih sering lagi. Mungkin, ada tindakan yang keliru saat kita mengungkapkan pikiran dan perasaan kita. Mungkin, ada lisan yang tak sengaja terucap melukai hati orang lain. Hati-hati dengan perasaan, terkadang kita bisa menjadi orang yang paling peka sedunia. Namun, terkadang juga kita bisa menjadi orang yang paling tak terkendali.

Semoga kita tak ragu lagi. Kamu, aku, kita berhak memiliki hati dan pikiran yang damai. Yuk, jujur dengan hati dan pikiran ini 🙂