Menolak untuk Panik

Menolak panik dan tidak menyalahkan sesuatu yang telah terjadi adalah dua hal yang sangat tidak mudah dilakukan. Namun, berhasil saya taklukkan.

Saya telah lama berkawan dengan kritikan yang membangun maupun yang menyakitkan. Butuh proses memang. Saya pun pernah mengalami masa-masa penolakan atas kritikan. Tetapi, pengalaman memang mampu membuka pikiran untuk membenahi diri menjadi lebih baik lagi.

Sejak pemahaman bahwa kritikan akan membuat saya lebih baik tertanam dalam jiwa, saya berusaha sekali menerimanya dengan lapang dada. Apalagi bila kritikan disampaikan dengan cara yang tidak baik. Selain sulit diterima oleh otak, penyampaian yang tidak baik dapat menyakiti hati dan mengganggu pendengaran. Tidak semua kritikan enak didengar oleh telinga kan?

Saya juga telah lama berkawan dengan rasa panik. Kalau panik, logika seakan tertutup rapat dan hanya reaksilah yang kerap saya lakukan. Bagaimana dengan solusi? Pada saat itu, saya belum mengenal solusi.

Menjadi panik itu melelahkan. Karena saya selalu memandang persoalan dari sudut pandang kegagalan. Seolah-olah tiada kesempatan sama sekali untuk memperbaiki kesalahan. Dan biasanya, orang-orang yang panik akan kesulitan mengoreksi sesuatu yang salah. Selalu ada saja batu sandungan. Kepanikan selalu dekat dengan ketergesaan. Dan pada akhirnya, ketergesaan membuat saya menyalahkan keadaan. Menyalahkan keadaan menjauhkan sebuah penyelesaian.

“Kamu itu nggak usah panik. Santai aja. Kalo salah, nggak apa-apa. Setiap orang pernah melakukan kesalahan. Berpikir pelan-pelan. Hadapi dengan tenang. Nggak usah bereaksi berlebihan. Nggak usah salahkan keadaan. Dan, cari solusinya.” seseorang mengatakan itu. Benarlah kata orang, apapun memang harus dikatakan. Sebab, kata-kata mampu menyentuh hati orang lain. Kata-katanya, menyentuh hati saya.

Sejak saat itu, seburuk apapun keadaan, saya berusaha sekali untuk tenang. Butuh kerja keras memang. Butuh tarik napas panjang, memejamkan mata, dan berdiam diri sejenak untuk memikirkan. Butuh waktu lama untuk terus berlatih dan membiasakan. Butuh kesabaran untuk menjalankan. Dan, yang paling utama, butuh niat yang lurus untuk istiqomah melakukan.

Dan kini, ketika berhasil menaklukan rasa panik, orang-orang sering bertanya, “Shin, kok nggak panik? Nggak sakit? Nggak takut?”

Saya manusia biasa yang memiliki rasa. Tentu saja ada rasa panik, takut, dan khawatir, ketika menghadapi situasi menegangkan. Tentu saja merasa khawatir dengan kesalahan. Tetapi, saya tahu, satu-satunya cara menghadapi semua itu adalah mencari solusinya. Dengan begitu, segala ketegangan akan sirna secara perlahan.

Ada proses panjang dilakukan untuk menolak rasa panik. Pemahaman tersebut tidak tertanam begitu saja. Ada proses afirmasi diri berulang kali dilakukan. Ada proses pembiasaan yang terus diusahakan. Dan ada proses-proses lainnya.

***

Sedikit Cerita tentang Menolak Rasa Panik

Agustus 2018

Botol ampul terbuat dari kaca. Sebenarnya, saya sudah terbiasa membukanya. Entah mengapa, kemarin tidak begitu lancar saat membuka. Jadilah, telunjuk kanan tergores sedikit kaca. Goresannya kurang lebih hanya satu sentimeter saja. Meskipun begitu, darahnya lumayan memenuhi telapak tangan, menetes pada lantai, dan tempat sampah.

Saya tahu teorinya, ketika terjadi luka, segera mungkin menutupnya dengan kain atau apapun juga untuk menghentikan pendarahan. Tetapi saat itu, tak ada kain dan tissue. Dan tidak mungkin menutupnya dengan baju yang digunakan. Saya pun bingung dibuatnya.

Rasa bingung tidak terjadi begitu lama. Saya menolak untuk panik dan memutuskan mencari solusinya. Saya segera berjalan cepat mencari tissue dan air mengalir untuk membersihkan luka. Setelah bersih, saya menekan telunjuk dengan tissue untuk menghentikan pendarahan. Dan segera mencari bantuan. Saya membutuhkan antiseptik.

Sesampainya di lokasi yang dituju, saya tak mendapat sambutan yang menenangkan dan menyenangkan. Dia tak peduli. Padahal, seharusnya ia adalah orang yang harus peduli dengan darah dan luka. Saya malah disarankan olehnya untuk mencari antiseptik tersebut. Ibaratnya, saya disuruh mencari barang di rumah orang lain yang sebelumnya tak pernah dikunjungi. Bingung? Tentu, bahkan saya pun tidak tahu dimana pintu masuknya. Meskipun dia begitu mengecewakan, saya tetap masuk dan mencari sendiri antiseptik tersebut.

Saya meyakinkan diri, bagaimanapun keadaan tidak menyenangkan itu, tidak boleh memengaruhi saya. Ada hal yang harus dilakukan yaitu, mencari antiseptik! Dengan cepat saya membuka laci dan mencari botol dengan tulisan antiseptik. Alhamdulillah, Allah meridhoi. Botol itu muncul dipermukaan dan segera saya gunakan.

Cairan antiseptik yang mengenai luka cukup membuat saya merasa nyeri dan ngeri. Namun, darah belum juga berhenti. Saya membutuhkan plester untuk menekan pendarahan, tetapi sejauh mata memandang tak terlihat plester itu. Indomaret adalah satu-satunya tempat yang terpikirkan. Saya segera pergi kesana untuk mendapatkan plester.

Lagi-lagi Allah memudahkan. Plester jenis apapun tersedia disana. Saya memilih plester anti air. Plester itu tepat sekali untuk memudahkan pekerjaan saya. Selesai mengurus perihal pembayaran di kasir indomaret, saya segera menempelkan plester pada luka dengan panjang satu sentimeter itu. Luka ditutup, darah pun berhenti. Urusan selesai. Kepanikan hilang. Saya panik? Tentu saja. Tetapi, dalam hati. Adakah orang yang tak panik bila melihat darah mengalir? ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚

***

Cerita di atas adalah sedikit pengalaman saya menolak untuk panik. Ada banyak proses di dalamnya. Dan ada banyak usaha juga di dalamnya. Menolak untuk panik bukan berarti tidak merasakan panik. Kepanikan tentu ada. Namun, jangan sampai kepanikan malah memperburuk keadaan yang ada. Jangan sampai, kepanikan malah menutupi logika kita. Panik boleh, tetapi rasakan saja. Tidak perlu ditunjukkan oleh laku. Bagaimanapun rumitnya keadaan, mencari solusi selalu nomor satu.

Menolak untuk panik perlu atau tidak? Bukan perlu, tetapi harus!

3 thoughts on “Menolak untuk Panik

Leave a comment