Screenshot whatsapp di atas adalah percakapanku dengan si sipit kemarin malam. Sepertinya chatku sangat menghibur dirinya hahaha
Karena beberapa kali menjadi korban pencopetan dan pencurian gawai, aku berubah seperti ini. Aku menjadi mudah curiga dan waspada terhadap “sesuatu yang tidak wajar” π
Malam itu, bapak ojek online berbaik hati memberi tumpangan gratis. Seharusnya tujuan akhir perjalanan ojek onlineku hanya sampai stasiun saja. Namun, aku tak jadi turun di stasiun karena bapak ojek online memberi tumpangan untukku.
Biasanya, aku akan lanjut naik kereta untuk menuju rumahku. Jaraknya tidak begitu jauh. Hanya 11 km. Berbeda dengan malam kemarin, 11 km terasa jauh banget guys karena dijalani dengan perasaan was-was hahaha
Rumah si bapak di Sawangan. Rumahku tidak jauh dari Jalan Margonda Raya. Rute kami sama. Karena alasan itulah si bapak berbaik hati menawarkan tumpangan gratis. Kurang-lebih begini percakapan kami.
“Mbak, bareng aja sama saya sampai Depok. Nggak usah bayar, mbak. Sekalian saya jalan pulang.” kata si bapak.
“Eh? Terima kasih tawarannya, pak. Saya turun di stasiun aja hehe.” kataku.
“Nggak apa-apa mbak, nggak usah sungkan.” kata si bapak.
“Eh? Jangan pak, bapak kan mau ambil penumpang lagi.” jawabku kikuk.
“Mbak penumpang terakhir saya. Saya ambil penumpang memang cuma sampai jam segini aja. Sekalian menuju rumah aja mbak tiap kali pulang kerja.” kata si bapak.
Baru saja ingin membuka mulut untuk menanggapi perkataan si bapak, ia sudah mengklik tombol pada gawainya. Entah apa yang ia klik. Namun, saat itu juga, muncul notifikasi pada gawaiku bahwa aku sudah sampai tempat tujuan.
Jalanan pada malam itu ramai. Padahal jam tanganku sudah menunjukkan pukul 21.30. Jakarta memang tidak mengenal siang dan malam, ya. 24 jam nonstop selalu ramai.
Si bapak yang cenderung memaksa membuat aku cemas. Aku akui, sikapku ini memang kurang baik. Bukankah mewaspadai kebaikan orang lain adalah perbuatan tak baik? Namun, kata pikiranku, aku harus mewaspadai siapa pun itu. Bahkan untuk si bapak yang berbaik hati menolongku.
Mungkin bagi sebagian orang terdengar berlebihan. Tetapi, percayalah, bagi seseorang yang pernah mengalami kejahatan secara langsung, pikiran ini memang sudah terpatri di dalam diri. Sungguh π
Meskipun cemas, aku tetap mengobrol dengan si bapak. Ia termasuk tipikal orang yang senang mengobrol. Si bapak menanyakan “hal-hal yang biasa orang tanyakan” seperti, kerja di mana, rumahnya di mana, dan alasan mengapa aku memilih naik kendaraan umum.
Aku pun juga menanyakan hal serupa. Ternyata si bapak tidak familiar dengan rute perjalanan yang kami lewati. Kata bapak, orang-orang yang tinggal di Sawangan lebih senang bepergian ke arah Ciputat dibandingkan ke arah Jalan Margonda Raya. “Macet banget, Mbak.” begitu katanya.
Sebenarnya, aku sudah terbiasa mendengar keluhan si bapak ini. Sahabatku juga tinggal di Sawangan. Dan dia selalu keberatan bertemu di daerah Margonda Raya wkwk
Jarak 11 km terasa lama. Rasa tidak tenang ternyata mampu membuat situasi perjalanan tidak menyenangkan. Dan perjalanan bersama orang asing yang tidak kita percaya sangat mampu membuat situasi begitu menegangkan hahaha
Terkait sikap waspada terhadap orang asing, aku teringat percakapan bersama kawanku beberapa tahun lalu. Saat itu, kami berada di kereta. Di sisi kiriku ada seorang anak kecil. Mungkin usianya 3 tahun. Tanpa pikir panjang, aku menawarkan camilan yang sedang kumakan. Lalu, dari arah depan kawanku memberi sinyal non verbal. Ia menggelengkan kepalanya.
Mengetahui bahwa kawanku memberi sinyal tanda tidak setuju, aku pun menghentikan tindakanku itu.
Setelah sampai tempat tujuan, ia langsung berbicara kepadaku. Katanya begini,
“Jangan kasih makanan ke orang yang kita nggak kenal. Apalagi anak kecil. Pasti orang tuanya cemas anaknya dapat makanan dari orang asing.” kata kawanku.
“Lho? Kan aku cuma mau berbagi makanan aja. Nggak boleh ya?” tanyaku.
“Bukan nggak boleh. Niatmu baik, tetapi tempatnya tidak pas. Begini Shin, kita harus memahami perasaan orang tuanya itu. Hati si orang tua pasti tidak tenang anaknya diberi makanan dari orang asing. Setiap orang tua pasti ingin melindungi anaknya.” jawabnya.
“Begitu kah?” tanyaku untuk memastikan.
“Iya. Kejahatan itu dekat, Shin. Jadi, kita harus memahami untuk setiap sikap waspada orang lain. Bahkan waspada untuk setiap kebaikan yang kita beri.” jawabnya lagi.
“Iya, aku paham. Makasih untuk wawasan baru yang belum pernah aku dengar sebelum ini. Aku akan lebih hati-hati lagi.” kataku.
Sesungguhnya, pada saat mengobrol itu aku belum terlalu paham maksud kawanku itu. “Aneh ya. Masa berbuat baik pun tidak sebebas itu bisa kita beri. Masa sikap baik pun bisa-bisanya dicurigai.” kataku dalam hati.
Kejadian kemarin malam membuat aku mengerti. Ternyata benar adanya bahwa kita memang tak mudah menerima kebaikan dari orang asing yang baru saja ditemui. Selalu ada kecurigaan dan kewaspadaan mengikuti. Seakan, ada tameng besar membatasi diri.
Dan menurutku perihal ini wajar terjadi. Bukankah setiap kita memang tak bisa membaca isi hati? Maka, satu-satunya cara hanya berhati-hati.

Bagaimana cara berhati-hati dalam menerima kebaikan orang lain? Dari pengalamanku sendiri, kita harus tetap menerima kebaikan siapa pun itu. Namun, sertai sikap waspada. Contohnya, seperti e-receipt yang aku kirimkan ke sipit di atas tadi. E-receipt adalah bentuk sikap waspadaku pada malam itu hahaha
Meskipun dalam e-receipt tidak tertera plat nomor si bapak, paling tidak aku sudah meninggalkan rekam jejak sebelum menerima kebaikan si bapak ini. Paling tidak, si sipit tahu bahwa malam itu aku sedang dibonceng oleh bapak ojek online secara gratis.
Dunia itu penuh kejutan. Kita tidak pernah tahu siapa saja yang menjadi serigala berbulu domba. Yang kita bisa lakukan adalah melindungi diri sendiri. Salah satu caranya ya selalu waspada dan berhati-hati. Dan jangan lupa, selalu meminta perlindungan dari Sang Ilahi.
Alhamdulillah malam itu aku sampai rumah dengan selamat. Si bapak mengantarku sampai Depok. Aku meminta diturunkan di pinggir jalan saja. Dan masih harus berjalan kaki lagi. Meskipun begitu aku terbantu sekali atas bantuan si bapak.
Sebagai ucapan terima kasih, aku beri sebuah biskuit coklat ke si bapak. “Untuk camilan selama perjananan, pak!” begitu kataku sembari meninggalkan motor si bapak.
Aku tahu biskuit coklatku memang tidak bisa membalas kebaikan si bapak. Rasa curigaku juga membuatku merasa tidak enak hati karena telah berburuk sangka.
Namun semoga si bapak menerima rasa terima kasihku. Semoga si bapak merasakan rasa syukurku atas kebaikannya melalui biskuit yang kuberi itu.
Sehat selalu ya, Pak. Semoga Allah membalas kebaikan bapak π
Semangat menjaga diri, guys! Setiap kita harus bisa melindungi diri sendiri πͺπͺ