Ayahku (Tidak) Menyebalkan

Ayahku menyebalkan. Begitu kataku. Dahulu, aku adalah anak yang begitu egois. Selalu ingin ayah begini dan begitu sesuai dengan keinginanku. Aku juga tak jarang bertengkar dengan ayah. Aku dan ayah sama-sama keras kepala.

Kala itu, aku masih sekolah dasar.

“Hari Minggu besok aku mau berenang sama keluarga, yah.” aku meminta kepadanya.

“Maaf, ayah tidak bisa. Ayah harus dinas. Lagi pula apa sih manfaatnya jalan-jalan di akhir pekan?” ayahku menolak dan mempertanyakan permintaanku.

“Untuk menyegarkan otak yah. Kan enak jalan-jalan. Aku bosan di rumah yah. Senin sampai Sabtu kan sekolah terus.” aku berusaha memberikan alasan agar ayah merubah pikirannya.

“Kalau mau, ini ayah kasih aja uangnya. Kamu pergi sama mama aja ya.” ayahku tetap menolak karena keperluan dinas dan menawarkan uang sebagai kompensasi.

“Aku mau ayah juga ikut. Ih, ayah nyebelin.” aku tetap kokoh pada pendirianku. Enggan memahami kondisi ayah. Dan tetap menuntut.

**

Beranjak remaja, aku dan ayah semakin tidak cocok saja. Aku dan ayah ibarat dua kutub positif magnet yang di dekatkan. Kami saling tolak menolak. Saat itu, usiaku kira-kira 14 tahun. Aku masih sekolah menengah pertama. Ayah benar-benar menyebalkan. Bagaimana tidak? Ayah tak pernah semudah itu memberikan uang padaku. Aku harus melakukan pekerjaan terlebih dulu sebelum akhirnya diberikan uang. Pikirku saat itu, ayah ini menyebalkan sekali. Tega sekali sama anaknya.

Kamu tahu? Aku harus membantu ayah seperti mencuci motor, membelikan sesuatu di warung, membuatkan kopi, membayar tagihan telepon di kantor telkom, atau membayar tagihan listrik di kantor pos, dan lain-lain. Aku kesal. Tetapi tetap melakukannya. Karena, aku membutuhkan uang untuk membeli keperluanku saat itu. Dan, hubunganku dengan ayah semakin jauh. Aku tidak menerima perlakuan ayah.

“Ayah, aku mau minta uang untuk main ke rumah teman besok setelah pulang sekolah.” meskipun kesal, aku tetap saja meminta uang ke ayah. Karena mamaku menyuruh begitu.

“Iya nanti ayah kasih uang. Tapi, kamu bayar tagihan telepon dulu ya. Kantornya dekat banget kok itu. Nggak sampe satu kilo. Gampang mbak proses pembayarannya.” ayah memberikan aku penawaran.

“Aku nggak tau caranya, yah. Aku takut. Langkah-langkahnya gimana yah?” aku takut, tetapi tetap menanyakan caranya. Karena apa? Aku butuh uang.

“Nggak usah takut. Kan belajar, mbak. Tanya aja sama pak satpam gimana cara bayar tagihan telepon. Kamu kan sudah besar, malu bertanya sesat di jalan.” ayahku enggan memberikan langkah-langkah. Dalam hati, aku kesal sekali sama ayah.

Begitulah. Hal-hal seperti itu yang membuat aku tidak dekat dengan ayah. Yang kutahu, ayahku itu kaku sekali. Tidak lemah lembut seperti ayah-ayahnya temanku. Ayah tegas sekali padaku. Memang sih ayah lulusan militer, tapi apa harus kemiliteran itu juga diterapkan kepadaku? Bahkan ketika aku takut, bukannya diantar, aku malah disuruh tanya pak satpam. Menyebalkan, kan?

Hingga sekolah menengah atas, hubungan aku dan ayah tetap seperti itu. Berhubungan tetapi tidak dekat. Sampai pada saat itu, aku belum pernah curhat ke ayah. Mengajak foto bersama pun enggan. Mamalah penyelamatku. Mama yang selalu berada dipihakku bila ayah terlalu tegas dan keras.

Hingga akhirnya, saat kuliah, ada perkataan sahabatku yang sangat menyentuh hatiku. Sekaligus menyadarkanku. Begini katanya,“Bagaimanapun, ia adalah ayahmu. Bagaimanapun sikap ayah yang tidak kamu sukai, sampai kapanpun ia adalah ayahmu. Sekeras apapun kamu menolaknya, ia tetaplah ayahmu. Jadi, terimalah keadaan ayahmu apapun itu.”

Aku merenungi perkataannya di rumah. Aku tersadar, sejak kecil dulu hingga saat ini, tidak pernah sekalipun aku memikirkan perasaan ayah. Aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku hanya memikirkan kebahagiaan diriku sendiri. Aku memikirkan tindakan ayah yang tidak kusukai. Tetapi, aku tidak memikirkan apakah aku sudah menjadi anak yang baik. Aku egois. Mulai saat itu, aku mulai melihat ayah. Aku mulai mengamati setiap hal yang ayah lakukan. Aku berusaha memposisikan diriku sebagai ayah. Aku juga berusaha memahami hal-hal yang ayah sukai dan tidak. Aku menyadari, ayah juga manusia biasa sepertiku. Ada hal-hal yang ayah inginkan. Ada hal-hal yang ayah sukai dan tidak. Jadi, aku harus menghargai ayah dan hal-hal yang diyakininya. Dan aku mulai menyukai ayahku.

**

Sejak tahun ke tiga di perkuliahan, aku menjadi orang yang berbeda. Aku sudah mampu melihat segalanya lebih luas. Jika mengingat lagi kisah kecil dulu, ayahku yang menyebalkan itu sesungguhnya hanya ingin memandirikan aku. Ada nilai-nilai yang ayah ingin tanamkan kepadaku. Ayah ingin aku menjadi anak yang mandiri, berani, pantang menyerah. Ayah ingin aku memahami arti kerja keras. Bahwa, sebelum mendapatkan sesuatu, aku harus berusaha dan berjuang lebih dulu.

Aku pun melihat ayah dengan cara yang berbeda. Ada hal-hal yang tak kulihat dulu, namun saat ini semua terlihat dengan jelas. Ayah sangat peduli pada keluarganya. Ayah menularkan sikap tanggung jawab, percaya diri, bekerja keras, dan pantang menyerah. Jangan berharap ayah akan berkata lembut, bertutur kata manis, dan memeluk hangat anaknya. Karena ayah bukan tipikal orang seperti itu. Ayah menunjukkan kasih sayang dengan cara berbeda.

Ayah tetap berdiri penuh semangat, meskipun kami sudah terjatuh dan mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Ayah tetap maju, meskipun di depan sana banyak rintangan menghalangi. Ayah berkata bisa dengan lantang, meskipun kenyataan berkata tidak. Ayah mendukung apapun keputusan anak-anaknya, meskipun semesta bersorak untuk menolak.

Terima kasih, ayah. Berkat ayah, kami tak ragu melangkahkan kaki. Berkat ayah, kami selalu percaya selalu ada jalan untuk siapapun yang berusaha. Berkat ayah, tidak ada yang tidak bisa dilakukan, selama niat masih bergelora di dalam dada. Terima kasih untuk segalanya, ayah. Kami tak akan pernah bisa membalasnya.

**

Tulisan ini spesial untuk ayah yang sedang berulang tahun hari ini. Semoga usia ayah diberkahi Allah. Semoga ayah diberikan kesehatan selalu. Semoga ayah bahagia di dunia dan akhirat. Semoga ayah selalu didekatkan dengan kebaikan. Semoga ayah dimudahkan berjuang di jalan-Nya.

 

Yang menyayangimu,

 

Shinta

 

 

Depok, 12 Mei 2018

2 thoughts on “Ayahku (Tidak) Menyebalkan

Leave a comment